SURAT GIVANDRA
Daftar Isi [Tampil]
Bingung. Itu reaksi Zamiatul
saat ini. Bagaimana bisa dua belas amplop sekaligus tiba-tiba saja ada padanya.
Amplop dengan berbagai warna itu masih belum satu pun yang dibukanya. Dia masih
sibuk menerka-nerka tentang siapa biang keladi dari semua ini, tentang rindu
yang menggebu, tentang cinta yang tak terungkap. Sepelenya bilang, Zamiatul
saat ini galau. Percis lirik lagu Ari Lasso yang melantun dari ponsel
pintarnya.
Mama mengira Zamiatul
sakit. “Kalau butuh apa-apa, kasih tau mama ya, Zam,” kata Mama. Namun Zamiatul
malah berkilah. “Zam nggak apa-apa kok, Ma,”
“Eits! Jangan
ngebantah. Mama perhatikan, beberapa jam setelah kamu pulang sekolah ini, kamu
lesu banget.”
“Zam nggak apa-apa,
Ma.”
“Mama tau kamu, Zam.
Makanya mama simpulin kalau kamu pasti lagi sedang nggak enak badan. Soalnya
kalau kamu lagi sakit hati kan nggak mungkin. Putus cinta juga nggak mungkin,”
kata Mama lagi.
“Kenapa Mama
beranggapan seperti itu?”
“Apa ya. Kamu kan
jomblo,” ledek Mama.
“Nggak lucu tau, Ma,”
Zamiatul meletakkan bantal di bawah dagu.
“Ya sudah. Mama turun
aja ya. Istirahat ya, Zam,” Lantas Mama mengecup kening anak gadisnya itu.
Zamiatul menatap
punggung mamanya. Perempuan setengah tua dengan tinggi yang sama dengannya itu
sebentar lagi akan menghilang dari balik pintu. “Mama!” panggil Zamiatul.
***
“Oh begitu ya
ceritanya,” Mama tersenyum simpul setelah Zamiatul menceritakan kejadian yang
sebenarnya. Kejadian yang sempat membuatnya merenung berjam-jam. Hingga dia
sendiri tak bernafsu untuk makan. Penalarannya tak sanggup menyelesaikan semua
tanya yang sempat mengembara.
Zamiatul memainkan
tumpukkan surat yang masih terbungkus amplop itu. Tubuhnya lunglai.
Lamat-lamat, Zamiatul mengingat ucapan penolakannya terhadap Givandra tadi
pagi.
Di kantin, dengan gentlementnya Givandra mengungkapkan isi
hatinya. Sebenarnya Zamiatul cukup senang. Ingin rasanya mengacungkan jempol
kepada Givandra atas keberaniannya menembak di depan umum.
Zamiatul hanya syok.
Seorang cowok tinggi, tampan, pemain basket dan cukup populer di sekolah itu
mencintainya. Zamiatul merinding jika harus mengingat kejadian itu lagi.
“Dasar bodoh!” ucap Zamiatul
lirih.
“Apa?” Mama yang
tidak sengaja mendengar ucapan Zamiatul tiba-tiba bersuara.
“Kamu bilang apa
tadi, Zam?”
“Zam nggak bilang
apa-apa kok, Ma. Mama salah dengar kali,” Zamiatul berkilah.
***
Sekarang Zamiatul
pening. Dia bimbang untuk membuka atau membuang begitu saja setiap surat yang
pojok atasnya memiliki inisial huruf yang sama. Inisial G. Otaknya memutar
untuk menciptakan kemungkinan yang bisa saja terjadi, upaya memecahkan misteri
siapa si inisial G ini.
Apakah itu Givandra?
Rasanya Zamiatul ingin melewatkan nama itu dulu. Pikirannya tertuju kepada Ghani,
yang kemarin lusa berkata padanya hendak pindah sekolah. Tapi jika benar itu
berasal dari Ghani, dengan maksud ingin berpamitan, rasanya tidak masuk akal
kalau dia harus mengirimkan belasan
surat hanya untuk itu.
Pilihan terakhir
mendarat kepada Gigie. Anggota Cheers
yang menjadi rivalnya sejak awal masuk sekolah lalu. Dia belum lama ini selalu
bertingkah sinis kepada Zamiatul. Mungkin karena Gigie terlalu sirik dan dengki
dengan kelihaian Zamiatul yang berada di atasnya.
“Dua belas surat
dengan inisial G, semuanya inisial G,” Zamiatul masih memainkan surat-surat
itu.
Lagi-lagi Zamiatul
kembali mengingat kejadian di sekolah tadi. Tentang Givandra yang dengan
bodohnya mempercayai kebohongan Zamiatul.
“Aku nggak cinta sama
kamu. Nggak naksir. Ya udah ya, aku mau ke perpustakaan,” ucap Zamiatul ketika
itu.
Dan tak lama setelah
itu, Gigie memberikannya surat dengan amplop berwarna hijau. Gigie hanya
bilang, kalau surat itu adalah ... “Titipan orang. Ah, nggak penting lah ya,
ieuww,”
“Hah? Apa?” Zamiatul terkesiap. Seolah barusaja diberikan
daya yang cukup besar. Darahnya mengalir dengan deras mendadak, yang secara
tidak langsung memompa semangatnya.
Zamiatul membuka
amplop hijau yang dia ingat dari Gigie, yang namun kata Gigie adalah sebuah
titipan itu.
***
Dear, Zamiatul. Kumohon jadilah
pacarku ...
Givandra
Deggg.
Jantungnya mulai berdegup
kencang. Zamiatul membuka amplop selanjutnya. Masih dengan inisial G di pojok
atas. Kali ini amplopnya berwarna ungu muda.
Aku yakin kamu adalah jodoh yang
dikirimkan Tuhan untukku.
Ya kali kalau itu semua salah,
aku berdoa semoga kita segera berjodoh.
Terima aku ya, Zamiatul Sidqia.
Givandra.
Deggg.
Sekali lagi Zamiatul
mengalami hal yang sama. Kalau pada amplop merah yang akan segera dibukanya ini
juga bernada serupa, Zamiatul bisa saja semapud saking syoknya.
Tiga kata buat kamu.
I love You
Givandra.
Kali ini Zamiatul
mulai lunglai. Tangannya bergetar. Keringat dingin mulai muncul mengiringi
kehadiran hawa tubuhnya yang melabil, adem panas. Bahkan, Zamiatul sempat
mimisan saat ingat pesan di amplop terakhir, kalau Givandra akan menelponnya tepat
pukul tiga sore.
Zamiatul memandang
layar ponselnya. 15:00. Dan pada saat yang bersamaan, lagu lawas milik Rossa
berkumandang. Sebuah nomor ponsel yang tak bernama, namun sangat familiar di
mata Zamiatul. Sebuah nomor yang berujung triple
tujuh itu adalah milik Givandra.
“Halooo,” suara Zamiatul
bergetar.
“Aku bukan orang
bodoh yang percaya begitu aja kalau kamu nggak cinta sama aku,” ucap Givandra
di seberang sana. Zamiatul tersenyum merinding. Tubuhnya kian melunglai karena
senang.
“Aku minta kamu turun
ya, aku sudah di luar,”
Saat Zamiatul
memandang ke bawah dari atas kamarnya, sosok Givandra tampak gagah dengan
jutaan mawar merah disekelilingnya.
***
Tulisan ini gue tulis akhir tahun 2013. Bahasanya masih cupu sekali. Ketara banget kalau gue jarang membaca ya :v
hahah dibilang jomblo ama nyokapnya sendiri.. bagus nih givandra pantang menyerah, udah ditolak tetep bangkit lagi..
BalasHapusuhuy!
BalasHapusManis sih, cuma masih kaku. Ayo revisi!