Melendung
Daftar Isi [Tampil]
“Sudah
malam, biar aku saja yang antar,” Dion berkata seraya membuang asap dari
mulutnya.
“Tidak
usah. Aku tadi bilang sama mama ke rumah Susi,” sergah Vivi yang kini tengah
sibuk dengan jeans birunya.
“Hati-hati
kalau begitu.”
“Aku
bisa jaga diri dari siapapun. Kecuali menjaga diriku dari kau.”
Vivi
menyentil hidung kekasihnya itu dengan senyuman centil. Kemudian berangsur
keluar, meninggalkan kamar sempit dengan perabotan yang tampak berhampuran
seperti kapal pecah. Tak lama kemudian, bunyi hentakan pintu pun terdengar
menggelegar.
Dion
bergegas dari ranjangnya menuju ke sebuah meja kecil. Di sana terduduk sebuah
laptop warna silver ukuran empat belas inci dengan sebuah flashdisk merah tertancap
seolah sedang bersenggama. Benda itu yang menemani Dion menempuh kepuasan
bersama Vivi. Sepertinya ia menginjak sesuatu. Selembar kain segitiga berwarna
merah jambu itu kini dipungutnya.
“Dasar
cewek bengak[1].
Dia meninggalkan celana dalamnya lagi!” umpat Dion sendiri.
![]() |
Di
pojok ruangan itu ia mengais ingatan tentang dua hari yang lalu. Di ruangan
yang sama dengan suasana yang berbeda. Sepulang dari sekolah.
Terik
matahari menyelonong masuk ke kamar kos Dion lewat fentilasi udara. Ia
berkeringat lebat. Bebuliran sebesar biji jagung menyembul di dahinya. Seorang
gadis berseragam sekolah sudah berkesiap pergi.
“Ini
...!” seru Dion seraya menjulurkan tangan. Tangan kanan lelaki tampan itu berisi
tiga helai kain kecil berwarna berbeda. Dua diantaranya berwarna merah muda. Sedangkan
yang satu bewarna biru terong dengan renda-renda kecil di setiap ujung.
“Ah,
pantas saja aku kehilangan celana dalamku,” ucap Vivi. “Makasih ya sudah menyimpannya!” ucapnya lagi.
Gadis
itu memungut barang kesayangannya dari tangan
Dion. Bibirnya menyeringai berkomat-kamit centil. Tidak berlangsung
lama, telepon seluler yang ia punya bergetar menyenandungkan sebuah lagu pop.
Nyanyian Rossa itu mengalun indah.
“Halo
...,” Vivi membuka suara.
“Aku
masih di kosan Dion. Iya, jadi dong!” Vivi sibuk sendiri dengan ponselnya.
“Iya,
aku hanya berdua dengan Dion di sini. Kau pikir aja sendiri aku abis ngapain.” Vivi
tersenyum centil. Gigi berbehelnya menggigit bibir bawahnya.
“Oke,
iya aku pergi sekarang,” kata Vivi mengakhiri teleponnya.
“Aku
pergi dulu ya, Sayang!” seru Vivi seraya melambaikan tangan.
“Oy,
itu kau nah ketinggalan!” pekik Dion.
Malam
ini gadis itu mengulanginya lagi. Lama-lama Dion jengah mengembalikan barang
antik berbentuk segitiga itu pada empunya. Biar saja menumpuk dan menjadi
koleksi untuknya. Atau setidaknya bisa menambah sumber kekayaan meskipun barang
itu tidak laku dijual.
***
Bersama
Susi teman sejawatnya, Vivi menonton organ tunggal yang ditayangkan langsung
oleh tetangganya yang berhajatan. Orang-orang berlalu-lalang sendiri-sendiri
seolah sibuk dengan keperluannya masing-masing.
“Aku
pusing, Sus, tiap malam orang tuaku selalu saja bertengkar. Huh!” keluh Vivi.
“Coba lah, Vi!” tawar Susi.
“Aku
tidak suka, Sus!” tolak Vivi. Ia menangkis tangan Susi.
“Sekali
ini kau coba. Cuma sekali ini. Aku janji tidak akan memaksa kau lagi.”
Susi
menyulutkan sebuah korek. Rokok
berfilter putih rasa mint itu
berhasil dihisap langsung oleh Vivi.
“Jangan
sampai tertelan, nanti kau bisa batuk!”
Perempuan tomboy itu mengingatkan
sembari mempertontonkan aksinya.
Butuh
waktu lama untuk Vivi menyesuaikan diri. Hingga beberapa saat kemudian, gadis
berambut keriting itu kegirangan ketika berhasil mengembuskan asap dari
hidungnya. Tentu saja ini atas bantuan Susi.
Asap-asap
membumbung tinggi ke langit. Gemintang menunjukkan aura malam yang nyata. Suara
dangdutan hingga musik remix bertalu-talu.
“Sekarang
kau coba yang ini, Vi!” Susi menunjukkan kelihaiannya yang lain.
Dengan
embusan napas yang tertata rapi. Susi memonyongkan bibirnya. Ia menghisap rokok
yang digenggamnya, lalu perlahan mengembuskan napas. Maka muncul asap berbentuk
huruf O sesuai cetakan bibirnya.
Vivi
menuruti gerakan Susi. Ia memajukan mulutnya beberapa senti. Lalu mengisap
rokok yang dicengkeramnya. Namun bukanlah bulatan asap yang dihasilkannya, ia
malah menelan asap itu.
“Uhuk
..., uhuk ... uhuk.” Vivi terbatuk.
“Tidak
apa-apa. Lain kali kita coba lagi,” hibur Susi.
***
Beberapa
bulan kemudian, Dion kepusingan.
Longlongan
anjing terdengar memilukan. Ia abai dan tak menghiraukan longlongan itu. Pikirannya sedang kacau. Ia kesakitan dari
ubun-ubun hingga melingkar ke ujung-ujung kepalanya.
Ditengguknya
sebuah minuman dari botol gepeng yang ia pegang. Sudah botol ke dua. Tinggal
satu kali tengguk dan ia pun dapat melemparkannya jauh hingga ke ujung rel
kereta. Lelaki gondrong itu membuka lagi botol yang ke sekian, menengguknya
dengan ladas [2]seolah
pengembara padang pasir yang sedang
dehidrasi tinggi.
“Argh
...! Aku seharusnya bisa mengontrol diri!” racau Dion.
Ia
menjambak-jambak rambutnya sendiri. Di atas sebuah batu besar ia duduk. Angin
mengembus dari hulu ke hilir. Meniup tubuhnya hingga gigil. Dua bungkus filter
menemaninya menerung. Bebotolan gepeng telah ludes ia tengguk airnya. Mabuk.
Bulan
dengan seringainya menyinarkan cahaya yang terangnya melebihi neon. Tampak
cantik, namun terkesan sinis kepada Dion. Bujang tanggung itu diadukan Vivi ke
orang tuanya. Gadis yang bersamanya selama ini mengaku sering mual. Bukan
karena ia muak kepadanya, tapi karena hal lain.
Papa
sempat menamparnya siang tadi. Bekas panas itu masih terasa. Bisa jadi akan
berlaku lebih jika Mama tidak melerai. Sementara Vivi, gadis 16 tahun itu
sesenggukan di pojok sofa. Perut Vivi kini
melendung. Ini ulah Dion yang telah memompanya dengan gagah.
“Saya
mencintai Vivi, Om,” ucap Dion. Tubuhnya bergetar. Bibirnya selalu mengucapkan kalimat
itu acap kali ditanyai orang tua Vivi.
“Kalau
sudah seperti ini, kau pikir cukup dengan cinta?” Papa menyelesaikan kalimatnya
dengan nada tinggi.
Bagaimanapun
juga ia memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Nah itu yg Ladas apa artiny ka?
BalasHapus