Lubuklinggau dan Cewek Bego
Daftar Isi [Tampil]
Kertas itu sudah berada
di tanganku. Selembar kertas ukuran A4 itu diantarkan oleh dua orang remaja
petang tadi. Aku diundang menghadiri acara Malam Gembira. Pesta rakyat tahunan
yang diadakan masyarakat di kelurahanku.
Sebagai pemuda yang cukup
dikenal, aku wajib untuk hadir. Meski kini usiaku belum genap dua puluh tahun,
aku sudah terpilih sebagai ketua karang taruna. Itulah sebabnya kenapa aku
mendapat surat undangan khusus dan kurasa ini spesial. Tapi itu baru dugaanku
yang pertama.
Bahkan, sekilas kulirik dari dua
remaja tadi, deretan yang mendapatkan undangan sepertiku ini adalah bapak-bapak yang telah banyak
berjasa terhadap kemajuan kota Lubuklinggau – kota kelahiranku ini. Tentu saja
beliau-beliau adalah orang yang cukup terpandang dan cukup dikagumi. Sisanya adalah para
sesepuh masyarakat.
Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa
sih kok aku diundang pakai surat beginian? Padahal tanpa diberi undangan seperti
ini pun, aku pasti hadir dalam pesta. Aku anak muda, hura-hura adalah hobiku.
Akal sehatku berhenti berpikir untuk menemukan alasan ini. Apa benar hanya
karena aku adalah ketua karang taruna? Atau, mereka menganggap aku sebagai
sesepuh juga? Hey, I’m just twenty years
old. Honestly, emang mukaku agak sedikit tua sih.
Itu juga yang menimbulkan praduga keduaku, tentang kenapa aku perlu diberi undangan. Sebab mukaku tampak lebih sepuh dari usia asliku.
***
Bapak Lurah katanya tak dapat
hadir. Lewat sekertarisnya yang baru saja kelar berpidato aku mengetahui hal
itu. Kali ini kesempatan ketua RT yang berpidato. Cukup mengesankan. Agus
Susanto namanya, dia adalah yang termuda dari sejarah ketua RT di kelurahanku.
Bagaimana aku tahu? Pertanyaan yang sepele. Dia adalah kakakku. Aku dan kakakku
itu hanya terpaut selisih lima tahun sejak kelahirannya. Dia baru saja
berkeluarga dua tahun yang lalu. Oh, betapa hebatnya orang itu. Tampak gagah
dengan pakaian batik bermotif burung warna cokelat yang keren.
“Terimakasih, Meri,” teman sekelasku saat SMA
dulu barusaja memberiku sekotak makanan. Orangnya manis. Semanis kue yang ada
di kotak ini lah. Sungguh. Ini bukan hanya bualanku saja.
“Sama-sama, Nan.”
Lalu dia beranjak, meninggalkanku
yang masih duduk dengan manis menyaksikan ketua RT berpidato. Namun mataku, tak beranjak dari punggung
Meri. Cewek langsing itu kini telah beranjak dewasa. Dandanannya pun tak
terlalu lebay. Sederhana tapi manis. Aku akan memberikan nilai sembilan dari
sepuluh angka untuknya.
“Kenapa, Nan? Kurang kuenya?” Tiba-tiba
saja Meri membuatku berhenti melamun. Bayangan akan diriku yang tengah
membuainya di taman kota menghilang sudah. Aku membayangkan, adegan indah itu
hancur setelah keruntuhan tugu Adipura kota Lubuklinggau ini. Segalanya pun
membuyar.
“Kalau aku minta orangnya saja
boleh nggak?” Spontanitas, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Mungkin ini yang namanya naluri lelaki. Sejak jama Jepang, mungkin yang namanya lelaki
itu sudah tertakdirkan sebagai penggombal. Begitu pula diriku.
***
Mataku terus tertuju padanya. Namun,
aku menangkap keganjilan darinya. Meri mendadak kikuk. Dia membuang muka untuk
menutupi malu. Sementara aku, tersenyum bak Raja Ken Arok yang berhasil menikahi
Ken Dedes.
“Hoi, dipanggil tuh!”
Aku terkejut. Kenapa otakku
menjadi error begini. Bagaimana mungkin aku begitu saja membayangkan kalau Meri
berubah menjadi seorang pria, yang suaranya sungguh aku kenali. Seperti, ya
tidak salah lagi, suara itu ..., seperti ..., suara kakakku. Suara ketua
RT.
“Mer, kamu kok?”
“Mer apaan? Kau dipanggil tuh!”
Rupanya bukan Meri. Ternyata
benar itu adalah suara kakakku. Aku tak tahu kemana Meri pergi. Yang jelas, sepertinya aku harus membenahi
posisi bajuku, karena aku baru saja dipanggil MC untuk menyampaikan sepatah
kata istilah yang disebutnya ke atas panggung.
Aku bergetar. Sedikit menghela napas, berdehem singkat, itu
yang selalu kulakukan ketika gerogi. Upaya menenangkan diri yang kupelajari
dari youtube. Sejenak kutundukkan
kepalaku.
Saat aku menengadah lagi. Fokusku
buyar.
“Dengan menyebut nama Meri,”
Lantas gelak tawa pun terjadi.
Tak dapat dipungkiri lagi. Mukaku kala itu pasti serupa kembang sepatu yang
memerah, atau mungkin seperti daging buah semangka. Aku cukup malu ketika itu.
Tapi hadirnya Meri di sudut sana, membuat darahku tak lagi surut. Semangat itu
seolah timbul entah dari mana. Aku jadi merasa sebagai cowok paling ganteng
dang tak ada orang cakep lain lagi di dunia ini.
“Itulah tadi ulasan sedikit
tentang organisasi kepemudaan yang disampaikan langsung oleh Agnan Prasetyo
selaku ketua karang taruna kita,” kata sang MC. Ucapannya memanjang seolah tak
lagi mengenal jeda untuk bernapas. Sunggguh lihai dan terlatih.
“Tapi ada apa sebenarnya ini
antara Agnan dengan Meri?”
Anjiir, MC yang berkaca mata itu
malah meledekiku. Lagaknya seolah seorang host infotaintment saja.
Sekali lagi, wajahku berubah
menjadi udang rebus, semua mata langsung tertuju kepadaku.
***
MC menyebutkan acara hiburan. Lantas
diisi oleh puluhan anak kecil yang melakukan drama dengan judul Bujang Kurap.
Legenda asli asal kota Lubuklinggau. Belum banyak yang tahu tentang legenda
ini. Bahkan, untuk nama Lubuklinggau saja, kurasa masih banyak yang salah
mengira. Lubuklinggau itu Kalimantan
atau Sulawesi? Kalau pertanyaan itu yang muncul di kepalamu, mohon maaf,
ternyata ilmu pengetahuanmu tentang geografis masih cetek. Lubuklinggau itu
berada di Sumatera Selatan. Ada di tengah-tengah pulau Sumatera. Tersebar
kabar, kalau kota ini dalam waktu dekat akan berubah menjadi Ibukota provinsi
baru dengan nama Sumatera Tengah.
Mataku memutar seperti kipas
angin. Aku mencari sesuatu. Entahlah, seertinya aku kehilangan sesuatu.
Tiga puluh menit setelah aku
menyampaikan sesuatu tadi, aku tak menemukan batang hidung mancung itu. Aku
tidak menemukan Meri. Kemanakah gerangan gadis langsing itu?
Gelak tawa kembali terjadi. Ada
seorang anak perempuan yang tertunduk malu karena lupa dialog yang semesetinya
dikatakannya. Padahal lawan mainnya seorang anak lelaki dengan gigi ompong di
tengah sudah memberikannya kode untuk itu. Tapi di sinilah kurasa letak
serunya. Anak-anak yang polos.
Gelak tawa pun kian menggelegar,
saat penonton memergoki anak perempuan itu tersedu-sedu karena ketakutan.
Ekspresinya lucu sekali. Sang ibu langsung meraihnya dan memeluk sang anak.
Drama pun berakhir dengan air
mata, namun lucu. Memang agak bertentangan dengan cerita aslinya. Tapi
kepolosan anak-anak itu tadi membuat semua penonton yang hadir merasa terhibur
dan puas.
***
Aku merasakan getaran itu.
Getaran lain di pangkal pahaku. Pada
saat yang bersamaan, Meri muncul dengan pakain khasnya. Pakaian yang biasa
perempuan kenakan saat menari tanggai. Tarian khas Sumatera Selatan. Meri tampak cantik sekali kala itu. Sejenak
aku lupa dengan nyer-nyer yang kurasa.
Akhirnya kudapatkan apa yang sedang
kucari. Perempuan dengan gerak lemah gemulai. Perempuan dusun itu bernama Meri
Santika. Bibirku melengkung begitu saja. Lantas aku tersedak mendadak, saat kakakku
yang kini duduk di sampingku menubruk bahuku dengan bahunya. Dia tampak
menyeringai. Meledek dan mengajakku bergurau.
Aku langsung bersikap biasa saja.
Teramat sering aku malu dalam detik-detik dekat ini. Maka kuraih asal getaran yang
sempat kurasakan tadi. Kurogoh kantong celanaku, dan kini muncullah sebuah
ponsel pintar dengan warna hitam mendominasi.
Ada pemberitahuan sebuah panggilan
tak terjawab dari Givandra.
***
Petasan mulai meletup-letup.
Padahal ini baru pukul dua puluh satu. Tahun baru masih lama. Butuh waktu tiga
jam lagi untuk menerbangkan kembang api supaya membumbung di atas langit sana.
Meskipun sudah diperingatkan berkali-kalai untuk jangan dulu menyalakan
petasan, tapi anak-anak nakal itu tetap saja menyalakannya. Maka tak ayal jika
muncul suara letupan-letupan yang acap kali mengejutkan orang, dan membuat Pak
Manto sesepuh adat yang juga hadir di acara Malam Gembira ini untuk mengelus
dadanya.
Tak lama setelah itu, anak
laki-lakinya yang seumuran kakakku menjemput Pak Manto untuk pulang lebih awal.
Ada percakapan kecil antara lelaki itu dengan kakakku. Sekilas aku menangakap,
bahwa petasan itu membahayakan kesehatan bapaknya. Itu katanya. Ada benarnya juga
sih, tahun lalu tetanggaku ada yang meninggal pasca perayaan tahun baruan
seperti ini. Penyebabnya adalah suara petasan yang memekakan telinga. Orang itu
struk, dan kompilasi dengan serangan jantung. Lantas meninggal kala itu juga,
tanpa sempat diajak ke rumah sakit.
***
Meri mulai melenggang. Iringan
lagu Gending Sriwijaya itu menghanyutkanku. Rasanya tak ingin berhenti
melengkungkan senyumku. Rasanya Meri hanya menari untukku. Rasanya, pengen
macarin.
“Meri cantik ya, Nan ...,”
kakakku membuka suara.
“Iya kak, cantik nian,” Loh? Aku
kok jujur.
“Kalau aku jadikan dia istri muda
boleh ya,”
Aku menelan ludahku. Lantas
mengarahkan tangan kananku ke keningnya.
“Masih waras, Kak?”
Kakakku hanya tertawa.
“Begini, Nan. Laki-laki itu harus
punya niat yang kuat. Modal nyali saja, itu masih belum cukup.”
Aku diam saja.
“Kalau ngomongin soal nyali, aku
akuin, kamu sudah punya semua itu. Tapi kalau masalah niat yang kuat, tekat
yang berawal dari pikiran yang matang, itu yang belum kamu punya,” Lantas
kakakku itu menepuk punggungku.
Aku masih terdiam. Sejenak
kata-kata itu merasuk ke relung kalbu. Apa yang dibilang kakakku itu ada
benarnya juga.
Riuhnya tepuk tangan membuyarkan
lamunanku. Performasi Meri pun berakhir. Aku terlarut dalam keriuhan itu, yang
mau tak mau membuatku turut bertepuk tangan paling keras untuk Meri.
MC barusaja turun panggung. Acara
inti telah kelar dilaksanakan. Kini akan berlanjut dengan pesta rakyat. Organ
tunggal sudah dinyalakan. Meri mempimpin kita semua untuk bergoyang oplosan.
Serunya bukan main. Hanya di tempat ini orang-orang lupa akan umurnya. Semuanya
tergabung dalam satu barisan melaksanakan goyang oplosan, goyang paling gila di
abad ini.
***
“Ini, Dek, silakan diambil,”
Seorang bapak-bapak kumisan memberikanku petasan ukuran besar.
Merasa tak enak hati, aku pun
menolaknya dengan lembut. “Ah, nggak usah, Pak. Mending buat anaknya aja.”
“Nggak apa-apa, ini buat kamu,”
kata bapak itu ngotot.
Ujung-ujungnya, aku tak kuasa
menolak lagi. Maka kuraih benda itu seraya mengucapkan terimakasih kepada si
bapak.
“Sama-sama ya, Dek. Jangan lupa
pemilu nanti coblos saya, nomor empat.”
Ya Tuhan. Ternyata modus.
Aku menjauh dari tempat pesta. Menuju
ke pinggi jalanan. Di dekat penjual kacang rebus yang di sampingnya banyak
anak-anak lelaki bermain kembang api.
Pesan baru muncul di ponselku.
Dari Givandra. Anak itu bertanya aku berada di mana. Setelah aku membalasnya,
sepuluh menit kemudian datang Meri mendekatiku.
Langit Lubuklinggau di malam
tahun baru ini indah sekali. Taburan bintang berkilau membentuk hiasan
yang dahsyat.
“Kok nggak ikut pesta?” Aku
membuka obrolan.
“Iya sebentar lagi. Pengen ngadem
dulu di sini.”
Setelah itu tak ada lagi
percakapan. Aku melirik ke arahnya. Tanpa kuprediksi
sebelumnya, yang dia lakukan pun serupa terhadapku.
“Eh,” Kami berdua mengucapkan
sepatah kata itu serentak. Lantas timbulah tawa kecil yang membuatku merasa
geli sendiri. Mungkin juga Meri merasakannya.
“Kamu mau ngomong apa?”
“Nggak kok. Nggak penting.” Meri
tertawa lagi. “Kalau kamu?”
“Sama. Nggak penting juga.” Aku hanya
tersenyum sesudahnya. “Petasan itu?”
“Oh, ini tadi, ada bapak-bapak,
modus nian. Ya gitu deh. Minta dukungan pakai ini.”
Kita berdua menyatukan petasan
masing-masing. Tanpa sadar, perbuatan itu membuat tanganku menyentuh tangan
halusnya. Menyadari hal itu, dia menarik kembali tangannya, kemudian menaruhnya
ke dalam baju hangat yang dia kenakan. Angin malam ini memang cukup berhasil
membuatku gigil. Pasti begitu pula yang dirasakan oleh Meri.
“Eh, kamu dipanggil tuh!” kata
Meri.
Suara microfon dari arah sana
terdengar bertalu-talu. Aku dimintai untuk menyanyikan sebuah lagu. Seolah ada
seusatu yang mencegahku untuk segera pergi ke sana. Tubuhku berat.
“Sana gih, buruan!”
Sayang sekali. Meri tidak menyadari , kalau dialah satu-satunya yang
membuatku enggan beranjak dari tempat itu.
“Nggak berani ya? Ish. Cemen.”
Meri mencaciku.
“Kalau kamu berani, ayok duet
sama aku!”
“Siapa takut!”
Kalimat itu membawaku bersama
Meri ke atas panggung. Dan betapa bodohnya aku, bukan lagu romantis yang aku
pilih, melainkan lagu dangdut lawas yang tak sepatutnya kunyanyikan bersama
Meri. Gadis Atau Janda.
***
“Gila banget. Kamu tadi goyangnya
heboh!” Aku tak berhenti tertawa.
“Kamu tuh yang malu-malu. Atau
jangan-jangan emang penakut?”
Merasa tersudut akan itu, aku
begitu saja memukul kepalanya dengan petasan besar yang belum kunyalakan. Tapi
apa yang terjadi? Meri lantas terduduk. Dia diam saja. Tak berkutik. Tangannya
menyentuh kepala yang baru saja kupukul tadi. Setelah itu aku mendengarnya
mengaduh. Kemudian merintih. Aku mulai merasa bersalah. Dia semakin terlihat
kesakitan. Aku jadi tak enak hati.
“Eh, aduh, sakit ya. Eh, ya. Maaf
dong.”
Beberapa detik setelahnya, dia
malah melakukan hal yang sama terhadapku. Dia mengangkat petasan yang
digenggamnya, dan melemparkan pukulan ke kepalaku. Kemudian tawa setan itu pun
menggema. Dia lepas. Dia puas.
Kejadian itu membuat aku dan dia
menjadi sedikit lebih dekat.
Givandra ngeteks lagi. Katanya
sedang menuju ke sini. Entah kenapa, ada sesak yang kurasakan. Pikiran
negatifku terhadap Givandra seketika itu muncul. Akan ada sekat di antara aku
dan Meri sebentar lagi. Sekat itu adalah Givandra.
***
Kini aku terjebak di antara
belahan dunia yang tak mampu kukendalikan. Aku bagaikan cecunguk yang hanya
mampu diam saja. Aku serupa patung, yang tak dapat berbuat apa-apa, hanya
berdiam saja. Aku tak lebih dari seonggok batu.
Sementara itu, Givandra dan Meri
tampak seru dengan cerita masa SMAnya.
Aku tak mengerti, ada rasa rindu
yang kurasakan. Aku sering merasakan rindu. Tapi yang kali ini, aku tak mampu
mendeskripsikannya. Rindu yang begitu hebat. Rindu yang tak semestinya. Bahkan
aku merasa rindu kepada orang yang berada di dekatku. Aku rindu bercengkrama
seperti itu kepada Meri. Seperti yang tadi kulakukan, iya, sebelum Givandra
hadir di antara kami.
“Bentar ya, aku mau nyanyi.” Givandra pamit
diri. Meninggalkan aku dengan Meri
berdua saja. Sebenarnya tidak bisa sepenuhnya dibilang berdua. Karena di tempat
itu, banyak sekali orang-orang yang berseliweran. Tapi bagiku, ketika bersama
Meri, dunia serasa milik berdua. Dan aku ingin seperti ini hingga seribu tahun lagi.
“Kamu kenapa sih? Kok mendadak
diam?”
***
Givandra hadir lagi di antara
kami. Senyumnya mengembang sekali. Sebuah petasan yang sama seperti yang kupunya,
dia genggam sepenuh hati. Setelah itu dia menguraikan cerita yang percis sama
seperti kejadian yang kualami tadi. Tentang bapak- bapak modus, yang dengan
sengajanya promosi membagikan petasan gratis.
“Maksud dan tujuannya adalah, tak
lain dan tak bukan, dia hendak meminta dukungan,” kata Givandra.
Terlalu didramatisir menurutku.
Tapi anehnya, kenapa Meri malah bisa tertawa lepas seperti itu dibuatnya.
Sedangkan aku, hanya seringai kecil untuk mengimbangi Meri yang berkali- kali
tertawa ke arahku.
Aku kembali ingat percakapanku
dengan Kak Agus tadi. Setiap ucapan yang
sempat keluar tadi kini mengendar di pikiranku. Benarkah begitu? Apa yang harus
aku lakukan?
“Laki-laki itu harus punya niat
yang kuat. Modal nyali saja, itu masih belum cukup, Nan.”
Kata-kata itu kini menggaung di telingaku.
***
Tuhan, tolong bantu aku. Aku tak
dapat menahan segala rasaku. Sementara saat ini, aku malah mengalami gangguan
internal.
“Sesaat lagi kita akan melepas
tahun lama dan akan menuju ke tahun baru.” Suara MC terdengar mengudara.
“Mari kita hitung mundur
sama-sama!”
Tiga ... dua ... satu ....!
Preeeet preeeet preeeeeeeet.
Duarrrr.Duaaarrr. Duaart.
Semarak tahun ini terasa sekali.
Begitu heboh dan benar-benar meriah. Letupan petasan dan puluhan kembang api
yang membumbung tinggi ke atas semakin membuat malam ini semarak. Bapak-bapak
calon legeslatif yang tadi membagikan petasan tampak bahagia sekali. Mungkin
dia merasa kalau modusnya itu berhasil. Dan dia akan mendapatkan banyak suara di pemilu nanti. Ya, kita doakan saja, semoga begitu adanya.
Kulihat Meri belum berhenti
tertawa. Dia nampak puas akan pemandangan api kecil yang gemericik di langit
sana. Givandra dengan manisnya mengimbangi Meri. Sedangkan aku, lagi- lagi
seperti cecunguk yang tak mampu melakukan apapun. Aku seolah kehilangan daya.
“Laki-laki itu harus punya niat
yang kuat, Nan. Modal nyali saja, itu masih belum cukup.”
Kata-kata itu mengitar di pikiranku
lagi.
Aku merutuki diri karena semua
kebodohan yang telah kulakukan selama ini.
Aku tak ubahnya seperti pecundang, yang dengan mudahnya melepaskan apa
yang baru saja digenggamnya.
“Hoy, ayo kita hura- hura!”
Meri benar. Aku sepatutnya hura-hura. Bukan merutuki diriku sendiri seperti ini. Tapi lagi-lagi, momok kecemenanku yang sama seperti yang apa Kakakku bilang, membuatku terdiam lagi.
Givandra masih berada di antara
kami. Tadinya aku merasa kalau Givandra akan menjadi sekat di sini. Tapi
sepertinya lain. Aku lah yang sebenarnya menjadi sekat di antara mereka. Dasar bodoh. Buat apa aku berlama-lama berada
di tempat ini, kalau hanya menambah rasa sesak di dadaku saja.
***
Givandra menarik tanganku.
Mengajakku berbicara empat mata. Ini
lebih parah dari sebelumnya yang aku pikirkan. Entahlah. Aku terlalu bingung
saat ini. Aku salah. Aku benar-benar salah. Yang namanya kesempatan, sebaiknya
digunakan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Tapi tak sesepele itu.
Benar kata kakakku lagi, yang saat ini
belum aku punyai adalah tekat dari pikiran yang matang. Aku memandangi Meri yang kini
telah terbiasa berada di dekatku. Lengkungan senyumnya terukir indah. Givandra baru saja berpamit pergi.
“Ada kerjaan yang perlu aku
selesaikan,” itu alasannya. Aku yakin itu hanya sekadar alasan belaka. Seorang
pengangguran seperti Givandra mana mungkin punya pekerjaan yang perlu diselesaikan. Alasan yang amat bodoh. Tapi terimakasih telah mengucapkan alasan
itu, teman. Semoga esok harimu
menyenangkan.
Sekarang aku berdua lagi
dengan dengan Meri. Seperti sedia kala,
yang lain aku anggap tidak ada. Dunia hanya milik aku dan dia. Bukan yang lain.
“Kamu belum mau pulang?”
“Ya, udah mau sih.”
Pertanyaan bodoh.
“Kalau kamu?” tanyanya.
“Aku juga.”
Ya Tuhan. Kenapa bibirku kelu?
Kenapa hanya secuil kata itu yang mampu aku ucapkan? Kenapa aku tak bisa
berkata bahwa aku menyayangimu, Meri?
“Ya udah, kita balik, yuk!”
Mati aku. Dia minta balik.
Padahal ada yang ingin kusampaikan padanya. Aku seperti tidak punya banyak
waktu lagi. Oh, Tuhan. Kenapa aku panik begini?
Omong kosong. Aku kehilangan
nyaliku.
“Ada yang mau kamu bilang?” tanya
Meri.
Aku diam saja.
“Ini sudah larut malam, dan aku nggak bisa berada di sini lama – lama, cuman untuk
nungguin kamu ngomong!” Meri sepertinya kesal.
“Mer, aku ...,”
“Iya?” Meri tersenyum nakal.
Lantas terbahak menertawakan kegugupanku.
“Aku sayang sama kamu,”
Huh! Akhirnya kalimat itu berhasil
juga aku katakan. Leganya bukan main
setelah menyatakan tentang apa yang aku gelisahkan selama ini. Tentang sesuatu
yang acapkali membuat dadaku merasa sesak. Akhirnya semua itu berhasil aku keluarkan.
“Terus aku harus ngapain?”
Mendengar kalimat itu, tubuhku
langsung kaku. Ternyata aku bodoh banget. Aku menepuk jidadku berkali kali. Antara
merasa kesal bercampur malu. Otakku seolah berhenti berpikir. Hingga aku tak
mampu mengungkapkan segalanya. Lagi-lagi bibirku terkunci.
“Terserah kamu, lah. Yuk balik!”
kataku, seraya berlalu.
“Hoy, tungguin oy!” Aku mendengar
suara kaki yang berlari kecil.
Setelah menyetarakan posisi
jalanku, Meri berkata dengan santun. “Kamu tadi nembak aku?”
“Iya,” Aku malas-malas menjawabnya.
“Ya terus?”
***
Ternyata aku masih butuh waktu
lama untuk memantapkan hatiku. Tekat yang kuat itu kini sudah ada. Bahkan,
semuanya telah kubalut dengan nyali. Aku pun telah berani berkata jujur kepada
Meri. Hanya saja. Ternyata Meri orangnya kurang peka. Benar apa yang dikatakan
Givandra.
“Meri itu gadis baik, Nan. Aku
sudah lama dekat dengannya. Ya sih, aku
nggak bisa bohong kalau aku juga sebenarnya naksir sama dia. Tapi aku rasa,
Meri kurang peka menanggapi cintaku. Setiap lelucon yang kulontarkan, mungkin
dia pikir hanya guyonan kecil yang tak
ada artinya. Dia hanya menganggapku sebagai kawan.”
Aku tak mengucapkan apapun.
Entahlah, aku benar-benar bimbang dengan perasaanku sendiri. Givandra sudah
mengakui tentang perasaannya. Givandra
juga bilang, kalau aku memiliki kesempatan besar untuk mendapatknya.
“Jangan cemas, Nan. Aku menatap
sesuatu yang lain di antara kalian berdua. Emang sih, Meri sulit untuk peka
akan hal-hal yang tak terlihat seperti ini. Ya, kau tahu lah apa maksudku. Oke,
sebut saja cinta. Cukup sekali sentil saja, aku yakin, Meri akan
kelepek-kelepek sama kau.”
“Kalau begitu kau saja yang
melakukannya,” Aku pura-pura tak acuh.
“Nggak mungkin. Meri itu milikmu,
Nan. Seperti yang kubilang tadi lah. Kalian itu punya sesuatu yang lain.
Semoga kau segera dapatkan apa yang kau mau ya, Nan! Jangan lupa, pancing dia untuk peka.” Givandra menepuk
punggungku.
***
“Kalau aku tanya,
Meri mau nggak kamu jadi pacar aku, kamu mau jawab apa?” Aku antusias
menanyakannya. Tapi cewek pecicilan yang bodoh itu malah menggigit
jarinya sendiri. Tak ada jawaban apa-apa. Hingga aku berhasil
mengantarnya pulang, dia tetap diam sambil sesekali menggigit jari.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan #NulisKilat. Ini adalah cerpen tercepat yang pernah saya bikin.

Aih, membacanya seperti nonton ftv yang ada di SCTV saja :D Hahaha
BalasHapusHahaha,, sedikit banyak pengalaman yahhh,, atau mungkin ini cerita kamu yang tertuang menjadi sebuah cerpen,, cia you yahh
BalasHapuswaw, ada aja nih lomba nulis! Huh emang akhir tahun kemaren gue gaptek bgt! Moga tahun ini gue pinter ... :)
BalasHapusmainstream tapi dikemas dengan bagus. nice bang :D
BalasHapus